Pengelolaan Hutan Produksi yang Lestari (PHPL)


MAKALAH PRODUKSI TANAMAN
TENTANG
PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI YANG LESTARI (PHPL)



Oleh    :
Zainal Abidin                         (201410320311045)
Hafizh Fadhila Muhammad (201510320312023)



JURUSAN KEHUTANAN
FAKULTAS PERTANIAN-PETERNAKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2016


LATAR BELAKANG
Ibarat dua sisi pada sekeping mata uang, pengelolaan hutan memberikan dua dimensi yang berbeda.  Dimensi pertama memposisikan peran dunia usaha kehutanan melalui pengusahaan hutan dan industrialisasi kehutanan menjadi salah satu tulang punggung pertumbuhan ekonomi nasional selama persoalan besar terkait dengan degradasi kualitas lingkungan.  Statistik beberapa tahun terakhir sebelum terjadinya krisis ekonomi menunjukkan bahwa tak kurang dari US$ 7-8 miliar devisa per tahun diperoleh dari sektor kehutanan dengan nilai investasi mencapai US$ 27,7 miliar dengan menyerap 4 juta tenaga kerja baik langsung maupun tidak langsung. Peran social ekonomi sector kehutanan semakin signifikan karena kemampuannya          dalam mewujudkan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi di berbagai wilayah pedalaman.  Ia bahkan menjelma menjadi salah satu sektor yang mampu mendukung terwujudnya integrasi sosial kultural masyarakat. Namun pada sisi lainnya ternyata pengelolaan hutan utamanya hutan tropis juga menyisakan suatu persoalan besar, yaitu semakin menurunnya kuantitas dan kualitas hutan.
Permasalahan-permasalahan yang terjadi dalam pelaksanaan pengelolaan hutan di Indonesia sebagaimana dimaksud di atas adalah :
1.      Tingkat pembalakan melampaui tingkat pembalakan yang lestari
Untuk memastikan agar hutan alam mampu memproduksi kayu dalam jumlah memadai dan secara lestari, tingkat pemanenan tidak boleh melampaui kemampuan hutan untuk  melakukan regenerasi.  Kajian terhadap kegiatan pembalakan yang berlangsung di Indonesia menunjukkan bahwa produksi kayu bulat selama ini telah melebihi tingkat pembalakan yang lestari.  Walaupun data resmi dari pemerintah menunjukkan bahwa produksi kayu bulat tahunan baru melebihi tingkat pembalakan lestari pada tahun 1994, namun perkiraan dari FAO mengindikasikan bahwa produksi kayu bulat telah jauh melampaui tingkat pembalakan lestari sejak tahun 1989 (Resosudarno.I.A.P, 2003)
Menurunnya kemampuan hutan Indonesia untuk memasok kayu merupakan indikasi bahwa jumlah kayu yang dipanen lebih besar dari pada data resmi.  Beberapa faktor yang mendorong hal tersebut adalah :
a. Maraknya kasus penebangan liar dimana datanya tidak dilaporkan sehingga estimasi data statistik resmi mengenai jumlah kayu yang ditebang lebih rendah dari jumlah yang sebenarnya.
b. Permintaan kayu bulat yang lebih besar dibandingkan ambang produksi lestari
c. Ukuran dan jumlah kayu bulat yang ditebang (secara legal) tidak sesuai dengan aturan yang ditetapkan, sehingga laporan tentang jumlah kayu bulat yang ditebang jauh lebih rendah dibandingkan dengan yang sebenarnya terjadi.

2.      Metode pembalakan yang tidak efisien
Selain melakukan panen yang berlebihan, data juga menunjukkan bahwa para pemegang HPH telah menerapkan praktik pembalakan yang tidak efisien. Pemanfaatan sumber       daya kayu yang tidak efisien    tercermin dari  proporsi kayu bulat yang dapat diperoleh (log recovered), jumlah limbah tebangan (wood waste), serta kerusakan yang ditimbulkan oleh praktik pembalakan yang dilakukan pada tahun 1990-an jika dibandingkan dengan dengan praktik pembalakan lestari.

3.      Metode pembalakan yang menimbulkan kerusakan ekologis berlebihan
Pemanenan yang dilakukan dengan sistem TPTI telah menyebabkan kerusakan antara 28-48% dari tegakan sisa yang tinggal (Resosudarno, 2003). Kondisi tersebut antara lain  tercermin dari banyaknya areal bekas tebangan (logged over area) yang terpencar di dalam dan disekitar hutan alam. Meskipun beberapa diantara kawasan hutan bekas tebangan tersebut masih tetap    mampu menghasilkan  konfigurasi hutan produktif, namun tidak sedikit bahkan sebagian besar kawasan hutan bekas tebangan tersebut merupakan kawasan hutan non-produktif, lahan kritis bahkan padang alang-alang. Tidak lain semua itu disebabkan karena teknik pembalakan konvensional yang mengandalkan tenaga mesin traktor dan gergaji mesin (chain saw) dilakukan tanpa diawali perencanaan yang matang dengan mempertimbangkan kondisi riil tegakan hutan.Perbaikan pada metode pembalakan bisa mengurangi tingkat kerusakan hingga 25-30%.   
Pembangunan infrastruktur seperti jalan angkutan kayu dan jalur-jalur penyaradan kayu juga menyebabkan penambahan luasan area bukaan kawasan hutan. Hal tersebut telah mengakibatkan kerusakan lingkungan dalam skala masif, khususnya pada area tegakan yang ditinggalkan. Pemadatan struktur tanah yang terkait dengan kegiatan pembalakan juga telah menurunkan laju penyerapan air sampai 21 kali lebih rendah sehingga telah meng akibatkan erosi dan banjir.

4.      Metode pembalakan yang menyebabkan konversi hutan tak terencana bagi penggunaan hutan
Kegiatan pemanenan ulang pada kawasan bekas tebangan sebelum kawasan tersebut siap untuk dipanen kembali, akan dapat menyebabkan proses deforestasi tak terencana dan menyebabkan kerusakan stok tegakan dan secara permanen menghambat pertumbuhan. Praktik melakukan kontrak dari HPH kepada sub-kontraktor yang biasa dilakukan, makin memperparah masalah di atas, karena para sub-kontraktor tidak bisa dimintai pertanggung jawaban atas kegiatan yang dilakukannya untuk mencari kayu sebanyak-banyaknya dalam waktu segera.  Praktik penebangan yang berorientasi jangka pendek tersebut menyebabkan kerusakan hutan dan deforestasi yang tak direncanakan.
5.      Praktik penanaman kembali dan regenerasi hutan yang buruk
Berdasarkan data yang ada, kawasan bekas tebangan hutan yang direboisasi jumlahnya sangat minim tidak lebih dari 4% dari total kawasan hutan. Laju penanaman kembali saat ini tidak mampu mengimbangi laju hilangnya kawasan hutan. Jika laju deforestasi sebesar kurang lebih 1 juta ha/tahun, paling tidak dibutuhkan kegiatan penanaman kembali dengan laju yang setara, untuk mengkompensasi deforestasi tahunan yang terjadi akibat berbagai sebab.
6.      Berbagai kebijakan dan pengaturan kelembagaan yang menyebabkan timbulnya praktikpraktik yang mengabaikan kelestarian, seperti:
a.       Belum terbentuknya unit pengelolaan di tingkat tapak (KPH), sehingga terhadap kegiatan pengelolaan hutan di lapangan tidak jelas siapa yang harus bertanggung jawab
b.      Lemahnya pengawasan yang disebabkan karena jumlah SDM kehutanan terbatas di luar Jawa.  Sebagai perbandingan, area yang harus diawasi oleh setiap ahli kehutanan di luar Jawa adalah 26.700 ha/orang, sedangkan di Pulau Jawa adalah 6.900 ha/orang.
c.       Ketergantungan yang tinggi terhadap sumber daya hutan sebagai sumber pendapatan daerah dan nasional
d.      Kebijakan masa lalu yang melarang ekspor kayu bulat dan integrasi vertikal dalam industri kehutanan menyebabkan  peningkatan kapasitas industri kehutanan jauh melebihi kapasitas penyediaan bahan baku.
e.       Rendahnya tingkat pungutan dan royalti, perolehan rente pemerintah yang rendah mendorong pembalakan kayu yang tidak        efisien  (pemegang izin memberikan nilai rendah pada hasil hutan kayu)
f.       Masa daur HPH yang 20 tahun yang jauh lebih pendek dibandingkan daur pemanenan yang 35 tahun menyebabkan pengelolaan tidak memperhatikan aspek kelestarian, karena pemegang HPH tidak mempunyai jaminan penguasaan kawasan untuk periode berikutnya.
g.      Masalah kepastian pemilikan lahan terutama di era reformasi yang tumpang tindih, tidak terdapatnya      kepastian lahan menyebabkan  terjadinya konflik tenurial yang mengakibatkan terganggunya upaya menjaga kelestarian hutan.
h.      Program pengembangan masyarakat sekitar hutan (PMDH).
Kebijakan PMDH dinilai mempunyai banyak kelemahan dan kegagalan. Kebutuhan ma sya rakat tidak benar-benar digali melalui peran serta dalam perencanaan. Hak masyarakat yang berkaitan dengan akses terhadap lahan tidak diakui.  Masyarakat lokal tidak mempunyai akses untuk memanen kayu secara komersial. Disisi lain HPH merasa tidak mendapat keuntungan apapun terhadap program tersebut. Kegagalan melibatkan masyarakat lokal sekitar hutan dalam pengelolaan hutan dan mengintegrasikan hak serta kebutuhan mereka bisa mendorong terjadinya penebangan liar yang pada akhirnya akan menyebabkan pengelolaan hutan tidak lestari.
Karena adanya permasalahan-permasalahan sebagaimana dijelaskan di atas, timbul kondisi dilematis dalam sistem pengelolaan sektor kehutanan Indonesia. Disatu sisi, sektor kehutanan secara ekonomi menjelma menjadi salah satu tulang punggung pembangunan nasional, namun di sisi lainnya, menjadi ancaman bagi kelestarian lingkungan sumber daya hutan yang akan sulit terpulihkan.
Dilatarbelakangi oleh keprihatinan terhadap meningkatnya laju penurunan kualitas hutan produksi di Indonesia maka pemerintah menetapkan kebijakan untuk pengelolaan hutan produksi lestari (PHPL) yang diatur melalui Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan yang selanjutnya telah dirubah dengan PP Nomor 3 Tahun 2008  dan peraturan-peraturan turunannya.



BAB I
KONSEPSI PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI LESTARI (PHPL)
Dilatarbelakangi oleh keprihatinan yang dimulai dari terjadinya kerusakan hutan akibat eksploitasi kayu hutan secara tak terkendali, dan upaya pengelolaan hutan secara lestari oleh masyarakat dunia, maka pada awal tahun 1980-an, keberadaan hutan tropis mulai diagendakan dalam dialog global.  Suatu proses negosiasi yang panjang telah berlangsung dibawah naungan UNCTAD (United Nations Conference on Trade and Development).  Hasilnya adalah  suatu kesepakatan dalam bentuk “ International  Tropical Timber Agreement” (ITTA) atau Perjanjian Kayu Tropis Internasional yang merupakan perjanjian multilateral tentang peredaran komoditas kayu tropis. ITTA ditandatangani pada 18 November 1983 di Jenewa dan mulai diberlakukan pada 1 April 1985.  ITTA melandasi berdirinya organisasi internasional kayu tropis atau lebih dikenal dengan International Tropical Timber Organization/ ITTO pada tahun 1986.  Saat ini ITTO beranggotakan 59 negara, yang terdiri dari 34 negara produsen dan 25 negara konsumen.  Indonesia termasuk tiga negara dengan vote terbesar (146) bersama Brasil (159) dan Malaysia (103).
Adapun tujuan ITTO sebagaimana tertuang dalam ITTA 1994 antara lain adalah memberikan kontribusi dalam proses pembangunan berkelanjutan.  Dalam upaya mendukung pembangu nan berkelanjutan di bidang pengelolaan hutan produksi lestari (PHPL),  ITTO telah mengadakan sidang di Bali pada tahun 1990, yang menghasilkan kesepakatan menetapkan target pengelolaan hutan lestari tercapai pada tahun 2000.  Keputusan ITTO tersebut merupakan komitmen seluruh negara anggota terhadap pelaksanaan PHL.
Pada prinsipnya konsepsi Pengelolaan Hutan Lestari memiliki tiga tipe yaitu:
1. Kelestarian hasil hutan
Tipe kelestarian ini hanya menitikberatkan pada hasil kayu tahunan atau periodik yang sama. Untuk mewujudkan tipe kelestarian ini muncul berbagai konsep sistem silvikultur, penentuan rotasi, teknik penebangan yang tepat dan sebagainya.
2. Kelestarian potensi hasil hutan
Kelestarian potensi hasil hutan berorientasi pada hutan sebagai pabrik kayu.  Pengelola hutan memperoleh kesempatan untuk memaksimumkan produktivitas kawasan hutan dengan cara tidak hanya menghasilkan produk konvensional sehingga diperoleh keuntungan uang yang sebesar-besarnya.
3. Kelestarian sumber daya hutan
Kelestarian sumber daya hutan menitikberatkan kepada hutan sebagai ekosistem yang menghasilkan kayu maupun non-kayu, pelindung tata air dan kesuburan tanah, penjaga kelestarian lingkungan, serta berfungsi sebagai gudang untuk kelangsungan hidup berbagai macam sumber genetik, baik flora maupun fauna. Tipe kelestarian sumber daya hutan, adalah tipe pengelolaan hutan lestari yang menjadi target pembangunan sektor kehutanan yang berkelanjutan. 


Expert Panel   ITTO   menyimpulkan  bahwa definisi operasional mengenai Pengelolaan Hutan Lestari perlu mencakup unsur-unsur sebagai berikut :
1)      Hasil yang berkesinambungan berupa kayu, hasil hutan lainnya dan jasa
2)      Mempertahankan tingkat biodiversity yang tinggi dalam konteks perencanaan tata guna lahan yang integratif yang mencakup jaringan kerja kawasan lindung dan kawasan konservasi
3)      Menjaga stabilitas fungsi dan ekosistem hutan dengan penekanan pada pemeliharaan produktivitas tempat tumbuh (site productivity), menjaga sumber benih (plasma nutfah) dan unsur biodiversity yang diperlukan untuk regenerasi dan pemeliharaan hutan.
4)      Meningkatkan dampak positif pada areal disekitar hutan dan sekaligus mengambil langkahlangkah untuk meminimalkan dampak yang merugikan
5)      Proses untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dan menyelesaikan perbedaan yang timbul
6)      Memberi peluang yang cukup luas untuk kemungkinan perubahan tata guna lahan pada masa yang akan datang.

Berdasarkan pertimbangan yang cukup luas tersebut, ITTO mendifinisikan Pengelolaan Hutan Lestari sebagai suatu proses pengelolaan hutan untuk mencapai satu atau lebih tujuan pengelolaan yang secara jelas ditetapkan, yang menyangkut produksi hasil hutan yang diinginkan dan jasa secara berkesinambungan, tanpa dampak yang tidak diinginkan baik terhadap lingkungan maupun sosial, atau pengurangan nilai yang terkandung didalamnya dan potensi potensinya pada masa yang akan datang.
Ilustrasi mengenai pengelolaan hutan lestari sebagaimana didefinisikan tersebut diatas dapat digambarkan sebagai berikut :
Hutan mempunyai fungsi produksi mempunyai nilai ekonomi, seperti kayu, rotan, gaharu dan sebagainya. Hutan mempunyai fungsi ekologi karena  hutan sangat penting untuk kelangsungan mahluk hidup manusia, hewan dan tumbuhan. Fungsi ekologi tersebut diantaranya adalah menyerap karbondioksida sekaligus menghasilkan oksigen bagi kehidupan, sumber air, pencegah erosi dan banjir, habitat hewan, sumber keanekaragaman hayati, dsb. Hutan juga mempunyai fungsi sosial karena hutan memberikan manfaat bagi masyarakat diantaranya sumber pemenuhan kebutuhan dasar bagi masyarakat sekitar hutan dan obat-obatan, sumber mata pencaharian, penelitian, dan sebagainya. Kegiatan pemanfaatan hasil hutan kayu yang dilakukan oleh pemegang IUPHHK akan menyebabkan dampak terhadap ketiga fungsi tersebut baik itu dampak positif maupun dampak negatif. Dengan demikian, Pengelolaan Hutan Produksi Lestari seharusnya mencakup usaha-usaha untuk meningkatkan dampak positif dan meminimalkan dampak negatif dari pengelolan hutan sehingga fungsi hutan lestari.
Lima Aspek Pokok  dalam PHPL
Untuk itu paling tidak harus ada lima aspek pokok yang harus dipenuhi dalam rangka mewujudkan pengelolaan hutan lestari yaitu sebagai berikut :
1.      Aspek kepastian dan keamanan sumber daya hutan
Kemantapan dan kepastian hukum yang diikuti dengan pengendalian pelaksanaan secara operasional serta perencanaan pengelolaan yang disahkan, penetapan dan penataan kawas an dengan pemancangan tata batas yang jelas dan dikukuhkan secara yuridis.
2.      Aspek kesinambungan produksi
Perlunya ditetapkan sistem silvikultur (sistem panen dan pembudidayaan) yang tepat sesuai dengan kondisi hutan yang bersangkutan. Kelangsungan produksi kayu dari suatu HPH untuk siklus I, sangat ditentukan oleh kemampuan perusahaan dalam membuat penataan areal yang baik yang dituangkan dalam RKU, melalui inventarisasi dan penafsiran foto udara sangat diperlukan agar realisasi jatah produksi tahunan (JPT) tidak terlalu berbeda dengan perkiraan produksi dalam RKU.  Untuk penebangan pada siklus kedua dan selanjutnya, kesinambungan produksi sangat ditentukan oleh :
a. Cara penebangan dan penyaradan
b. PWH
c. Inventarisasi tegakan tinggal
d. Penanaman dan pemeliharaan tegakan tinggal
3.      Aspek  konservasi flora fauna dan keanekaragaman hayati serta berbagai lini fungsi hutan bagi lingkungan
ITTO telah mengeluarkan guidelines dimana didalamnya mencantumkan satu persyaratan untuk pelaksanaan kegiatan konservasi biological diversity dengan penyediaan Total Protected Area (TPA) antara lain berupa Hutan Lindung dan Hutan Konservasi.
Program konservasi tersebut antara lain ditujukan untuk penyediaan plasma nutfah, zona penyangga antara hutan produksi dengan hutan lindung atau hutan konservasi, inventarisasi flora fauna yang    dilindungi, serta usaha-usaha pencegahan perburuan binatang yang dilindungi, pencegahan penebangan pohon yang dilindungi, pencegahan kebakaran serta kerusakan vegetasi, kerusakan tanah serta perlindungan sungai, mata air, pantai, atau tepi danau dan areal perlindungan lain.  Untuk itu adanya dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL) serta adanya organisasi dan anggaran pelaksanaan sesuai AMDAL merupakan persyaratan.
4.      Aspek manfaat ekonomi bagi pembangunan bangsa dan partisipasi masyarakat.
Agar hutan produksi dapat dikelola secara lestari, ada beberapa aspek yang menyangkut sumber daya manusia yang perlu diperhatikan antara lain
·         Profesionalisme tenaga kerja
·         Kesejahteraan karyawan
·         Kesempatan kerja dan kesempatan berusaha dari anggota masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan
·         Hak tradisional masyarakat dalam pemanfaatan hasil hutan non-kayu serta kegiatan spiritual
·         Pendidikan dan kesehatan anggota masyarakat di dalam dan di sekitar hutan
·         Bantuan-bantuan baik berupa bimbingan, penyuluhan maupun berupa material agar kehidupan dan kemandirian anggota masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan dapat ditingkatkan.
5.      Aspek Kelembagaan
Berbagai ketentuan dari Kementerian Kehutanan yang didukung oleh organisasi perusahaan HPH (APHI) serta tersedianya cukup banyak tenaga profesional telah secara nyata memperbaiki dan melengkapi sistem kelembagaan dari Perusahaan HPH.  Usaha pemenuhan tenaga teknis masih perlu dipacu agar aspek kelembagaan dapat mendukung pelaksanaan pengelolaan hutan secara lestari.Komponen PHPL dan Keterkaitannya Satu Sama Lain dalam PHPLMemperhatikan prasyarat dan ketentuan yang harus dipenuhi dalam rangka mewujudkan sistem pengelolaan hutan lestari tersebut diatas, maka tingkat keberhasilan pengelolaan hutan lestari tersebut akan sangat tergantung pada beberapa faktor antara lain adalah :
1)      Kebijakan dan komitmen nasional serta kebijakan ekonomi nasional
2)      Dukungan masyarakat terhadap kebijakan PHL
3)      Tersedia struktur pemerintahan yang dapat menjamin bagi pelaksanaan kebijakan dan komitmen PHL
4)      Tersedianya kapasitas yang cukup dalam bentuk, jumlah sumber daya manusia yang berkualitas dan mempunyai komitmen yang tinggi
5)      Investasi yang cukup dalam perencanaan dan pengelolaan sumber daya hutan.



BAB II
KERANGKA KERJA PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI LESTARI (PHPL)

Agar pengelola hutan pemegang IUPHHK-HA tidak kehilangan orientasi dan lebih fokus pada proses pengelolaan hutan yang sasaran akhirnya adalah memenuhi standar penilaian PHPL  dan verifikasi legalitas kayu telah disusun Kerangka           Kerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari.
Tahapan dan Kegiatan Utama Pengelolaan Hutan Produksi Lestari.
Tahapan dan kegiatan utama pengelolaan hutan produksi lestari sebagaimana dimaksud pada bagan alir tersebut di atas dapat dijelaskan berikut ini :
a.       Tahap Prakondisi
Tahap ini merupakan tahap yang paling penting dan menentukan pelaksanaan PHPL. Inti dari tahap ini adalah komitmen pengelola hutan untuk melaksanakan PHPL. Komitmen harus bisa dibuktikan secara nyata paling tidak dengan melakukan beberapa hal berikut yang sebagian besar merupakan tugas dari manajemen puncak dari UNIT PENGELOLA HUTAN:
1)      Meningkatkan kesadaran untuk melaksanakan PHPL
Kesadaran untuk melakukan Pengelolaan Hutan Produksi Lestari perlu dimiliki oleh seluruh jajaran internal yang terlibat dalam pengelolaan hutan, mulai dari pemilik perusahaan, manajemen puncak, dan seluruh staf lapangan termasuk kontraktor.Kesadaran tersebut harus didasari oleh pemahaman yang cukup tentang Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dari berbagai aspek, baik dari aspek kepatuhan terhadap peraturan perundangan, aspek produksi, aspek lingkungan, aspek sosial, dan juga dari aspek strategi bisnis. Pengelolaan hutan merupakan usaha jangka panjang. Untuk menjamin kelestarian hasil sekaligus kelestarian usaha mutlak diperlukan Pengelolaan Hutan Produksi Lestari.
2)      Membangun komitmen untuk melaksanakan PHPL
Komitmen untuk PHPL harus bisa ditunjukan oleh unit pengelola hutan, diantaranya :
·         Visi dan misi perusahaan sebagai bentuk komitmen tertulis harus mencerminkan kesadaran untuk melakukan Pengelolaan Hutan Produksi Lestari. Visi, misi dan komitmen untuk PHPL perlu diketahui oleh seluruh jajaran internal yang terlibat dalam pengelolaan hutan termasuk kontraktor serta masyarakat secara luas. Penyusunan visi, misi, penetapan target, dan sebagainya merupakan bagian dari perencanaan bisnis dan strat egi.
·         Pemenuhan aspek legalitas
·         Pemenuhan tenaga teknis yang memadai, dana untuk pelaksanaan kegiatan dan sarana dan prasarana untuk mendukung pelaksanaan kegiatan. Rencana aksi menuju PHPL tidak akan berjalan dengan baik jika ketiga faktor tersebut tidak terpenuhi.
3)      Penilaian kesenjangan antara Praktik Pengelolaan yang Sedang Berjalan dengan standar Penilaian PHPL (Gap Assessment)
Penilaian/verifikasi bisa dilakukan oleh internal unit pengelola hutan atau oleh pihak lain yang berkompeten. Penilaian ini merupakan langkah awal dalam rangka memperbaiki kinerja menuju Pengelolaan Hutan Produksi Lestari. Hasil penilaian/verifikasi harus disosialisasikan kepada seluruh jajaran unit pengelola hutan termasuk kontraktor.
Penentuan atau pemilihan standar penilaian/verifikasi dalam melakukan gap assessment tergantung kepada tujuannya, apakah untuk tujuan pemenuhan standar mandatory (LK dan PHPL) atau untuk tujuan pemenuhan standar FSC. Penilaian PHPL dengan standar PHPL atau FSC dilakukan pada level kriteria, sedangkan untuk verifikasi legalitas kayu         (LK) penilaian dilakukan pada level indikator.
4)      Membuat Rencana Aksi menuju PHPL
Tindak lanjut dari hasil gap assessment adalah membuat rencana aksi berdasarkan hasil penilaian pada setiap kriteria/indikator. Komponen utama dari rencana aksi terdiri dari kegiatan, target, penanggung jawab dan tata waktu pelaksanaan. Dalam penyusunan rencana aksi, untuk pemenuhan setiap kriteria dan indikator seringkali dibutuhkan beberapa kegiatan lintas departemen atau lintas tahapan (perencanaan, implementasi, monitoring atau evaluasi). Atau sebaliknya, satu kegiatan bisa berhubungan dengan beberapa kriteria/indikator.
b.      Pengumpulan Data Dasar
Pengumpulan data dasar dimaksudkan untuk memperoleh informasi menyeluruh mengenai  sumber daya hutan (batas areal kerja, potensi, riap tegakan, keanekaragaman hayati, dan kawasan yang perlu dilindungi); dampak potensial dari pengelolaan hutan terhadap lingkungan; dan kondisi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat di sekitar hutan.
Seluruh informasi tersebut harus diintegrasikan dan dipertimbangkan dalam proses penataan areal kerja (forest zoning) dan dalam proses penyusunan rencana pengelolaan jangka panjang yang meliputi rencana kelola produksi, lingkungan dan sosial. Berikut adalah penjelasan mengenai kegiatan utama yang terkait dengan pengumpulan data dasar:
1.      Penataan batas areal kerja dan pengukuhan kawasan hutan
Salah satu kewajiban dari Unit Pengelola Hutan pada tahap awal pengelolaan hutan adalah pelaksanaan tata batas areal kerja (TBT). Penataan batas areal kerja merupakan upaya untuk mendapatkan kepastian kawasan hutan yang dikelola untuk jangka panjang.
2.      Analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL)
AMDAL dilakukan sebelum kegiatan operasional dimulai dan merupakan salah satu persyaratan memperoleh ijin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan alam (IUPHHKHA). Dokumen AMDAL terdiri dari dokumen utama, yaitu dokumen analisis dampak lingkungan (AMDAL), dokumen rencana kelola lingkungan (RKL) dan dokumen rencana pemantauan lingkungan (RPL). Informasi penting yang diperoleh dari dokumen AMDAL adalah dampak potensial pengelolaan hutan terhadap lingkungan      (fisik-kimia, biologi, dan sosial) dan besarannya yang selanjutnya menjadi dasar untuk penyusunan rencana kelola lingkungan dan rencana pemantauan lingkungan.
3.      Survei social
Survei sosial dilakukan untuk mengetahui informasi mengenai kondisi sosial ekonomi dan budaya masyarakat di dalam dan di sekitar hutan yang dikelola. Informasi meliputi kelembagaan desa, sarana dan prasarana desa, jumlah penduduk, mata pencaharian, pendidikan, kesehatan, aturan adat, kearifan tradisional, penggunaan lahan, pemanfaatan sumber daya hutan, dan sebagainya.
Strategi Umum Pengelolaan Hutan
a.  Perbaikan alokasi penggunaan sumberdaya hutan secara nasional dengan memperhatikan kepentingan sector lain yang terlibat dan jaminan tersedianya tempat usaha bagi masyarakat di sekitar hutan, sehingga kesenjangan antara supply dan demand kayu bulat dapat diperkecil
b.     Mempercepat penyelesaian pengukuhan hutan yang mencakup kegiatan-kegiatan: pemancangan batas sementara, musyawarah dengan pihak-pihak terkait, pemancangan batas tetap dan pembuatan berita acara serta pembuatan berita acara serta pembuatan surat keputusannya (oleh Menteri Kehutanan),
c.  Perbaikan dan penyederhanaan peraturan, terutama pada tingkat petunjuk pelaksanaan  dan petunjuk teknis yang diperlukan dalam kegiatan pengelolaan hutan produksi
d.    Mewujudkan terbentuknya kesatuan-kesatuan pengusahaan hutan dan produksi yang berlandaskan kepada konsep yang bersifat komprehensif dan holistik dalam memperhatikan aspek-aspek yang terkait dalam kegiatan pengelolaan hutan produksi
e.       Peningkatan upaya pengawasan dan penegakan peraturan dengan menerapkan prinsip reward dan punishment
f.    Penyempurnaan konsep penyelenggaraan konservasi di hutan alam produksi yang bersifat rasional dan operasional dengan tetap mempertahankan kemungkinan terjaganya kualitas lingkungan, khususnya keterpeliharaan keanekaragaman hayati hutan alam tropis
g.    Peningkatan kualitas penyelenggaraan penelitian dan pengembangan kehutanan melalui perbaikan konsep, tujuan dan program yang bersifat komprehensif dan berkelanjutan.
h.      Peningkatan kualitas sumberdaya manusia dari semua pihak yang terlibat dalam kegiatan pengelolaan hutan produksi secara proporsional yaitu pemerintah, pengusaha, LSM dan lembaga-lembaga terkait lainnya serta masyarakat.
i.   Peningkatan kualitas dan ketersediaan data dan informasi yang diperlukan dalam menunjang kegiatan pengelolaan hutan produksi baik untuk penyusunan rencana maupun perumusan kebijakan lainnya
j.        Peningkatan intensitas manajemen dalam kegiatan pengelolaan hutan alam produksi dengan menggunakan alternatif teknologi yang tepat dan memadai
 Secara menyeluruh, tata kepemerintahan kehutanan yang baik dapat dikaji dari penyelenggaraan urusan kehutanan yang idealnya menerapkan 14 prinsip berikut (Bappenas, 2007):
1. Visi ke depan
2. Keterbukaan dan transparansi
3. Partisipasi publik
4. Tanggung-gugat (accountability)
5. Supremasi hukum
6. Demokrasi
7. Profesionalisme dan kompetensi
8. Daya tanggap
9. Efisiensi dan efektivitas
10. Desentralisasi
11. Kemitraan dunia usaha dengan masyarakat
12. Komitmen untuk mengurangi kesenjangan
13. Komitmen terhadap kelestarian lingkungan hidup
14. Komitmen terhadap pasar yang adil.
Pendekatan kelembagaan merupakan salah satu aspek penting dalam pengelolaan sumber daya hutan. Beberapa cara penguatan kelembagaan sektor kehutanan yakni:
1.      Meningkatkan peran dan sinergitas diantara para pihak (stakeholder), baik sinergitas antar sector maupun antar tingkat pemerintahan; 
2.      Memperkecil kesenjangan antara kebijakan dan pelaksanaan;
3.      Meningkatkan posisi tawar masyarakat dalam kemitraan pengelolaan sumber daya hutan; dan
4.      Melengkapi dan memperkuat data dan informasi tentang masyarakat di dalam dan sekitar hutan.
Pendekatan pemberdayaan masyarakat mengubah paradigma lama pembangunan kehutanan dari state based forest management menjadi community based forest management dimana masyarakat menjadi pelaku utama. Hutan merupakan sebuah ekosistem yang bersifat integral. Karena itu, pengelolaan hutan konvensional yang hanya berorientasi pada kayu (timber extraction) harus diubah menuju pengelolaan hutan yang berorientasi pada sumber daya alam yang bersifat multi-produk, baik hasil hutan kayu maupun non kayu, jasa lingkungan serta manfaat hutan lain (forest resources based management)
 Prinsip dasar pengelolaan hutan berbasis masyarakat adalah paradigma pembangunan kehutanan yang bertumpu pada pemberdayaan ekonomi rakyat. Secara teori prinsip dasar memiliki karakter bahwa masyarakatlah yang menjadi pelaku utama dalam pengelolaan sumberdaya hutan, dimana mereka memiliki jaminan akses dan kontrol terhadap sumberdaya alam. Sebagai pelaku utama maka masyarakat sekaligus menjadi pemeran utama dalam proses pengambilan keputusan dalam pengelolaan hutan. Hal ini dapat terwujud bila terdapat pengakuan terhadap hak-hak pengelolaan, pengendalian dan pemanfaatan sumberdaya hutan. Operasionalisasi di lapangan diserahkan kepada kelembagaan lokal sesuai dengan system sosial, ekonomi dan budaya masyarakatnya. Karena itu pendekatannya bersifat lokal spesifik namun tetap memadukan antara kearifan lokal dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Ada tujuh isu penting yang berkaitan dengan sumber daya hutan dalam hubungannya dengan program pemberdayaan masyarakat di sektor kehutanan, yaitu:
1.      Semakin luasnya hutan yang rusak,
2.       Besarnya tekanan terhadap sumber daya hutan dari sektor lain,
3.       Sumber daya hutan kurang memberikan manfaat sesuai dengan harapan masyarakat,
4.       Tingginya ketergantungan masyarakat terhadap sumber daya hutan,
5.      Kurangnya keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan pelestarian sumber daya hutan,
6.      Kurangnya kepedulian dan kemampuan multipihak dalam pelestarian sumber daya hutan,
7.        Rendahnya akseptabilitas terhadap eksistensi tata ruang kawasan hutan.
Social forestry merupakan salah satu upaya untuk mengoptimalkan kegiatan pemberdayaan masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan. Peraturan Menteri Kehutanan nomor P.01/Menhut-II/2004 tentang pemberdayaan masyarakat menyatakan bahwa maksud pemberdayaan masyarakat setempat di dalam dan atau sekitar hutan adalah untuk meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat dalam pemanfaatan hutan dalam rangka social forestry. Sedangkan tujuannya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat dan terwujudnya pengelolaan hutan yang lestari. Sasarannya adalah masyarakat setempat melalui upaya penyadaran, peningkatan kapasitas dan akses kepada sumberdaya hutan.
Beberapa factor yang menjadi kunci sukses dalam manajemen pengelolaan sumberdaya hutan dalam praktek kearifan lokal ialah:
1)  Proses partisipatif memerlukan waktu dan tenaga yang lebih tetapi di sisi lain dapat mengakomodir kepentingan berbagai pihak terutama kepentingan masyarakat tradisional yang termarjinalkan.
2)Kelembagaan adat berfungsi efektif dalam mengatur struktur organisasi, sistem pengambilan keputusan, sanksi dan implementasinya dalam pengelolaan sumberdaya hutan, karena di dalamnya mencakup:
1.      Struktur organisasi kelembagaan adat memiliki anggota kelompok masyarakat.
2.      Sistem pengambilan keputusan dilakukan melalui musyawarah
3.      Sanksi terhadap pelanggaran hukum adat
4.      Penerapan kelembangan adat dalam pengelolaan hutan
3)      Masyarakat adat umumnya mempunyai kemampuan mengelola hutan, sesuai dengan fungsinya dan mempunyai batas-batas yang jelas di lapangan baik berupa batas alam maupun berupa tanaman atau lainnya. Pengelolaan fungsi hutan umumnya sesuai dengan kondisi alamnya yaitu berfungsi sebagai hutan yang dilindungi atau disebut dengan hutan tutupan, hutan yang dapat dimanfaatkan, hutan garapan atau ladang.
4)      Pengetahuan masyarakat dalam memilih tanaman mengenai jenis tanaman, kesuburan tanah, kondisi iklim setempat, tanaman dengan resiko yang paling rendah dan mudah dipasarkan serta memenuhi permintaan pasar.
Konsep-konsep PHL
1)    sustainable use of ecosystem resources
2)      holistic
3)      ecosystem based forest management
4)    landscape perspective
5)      multiple objectives
6)      integrated
7)      includes participation of all stakeholders
8)      based on monitoring results
9)      adaptive
10)  based on sound science and good judgement
11)  takes cognitive, emotional and moral reactions into account in decision making proces
12)  based on the precautionary principle
13)  integrated



Comments

Popular posts from this blog

LAPORAN PRAKTIKUM INVENTARISASI TEGAKAN SEBELUM PENEBANGAN (ITSP)

CONTOH SUSUNAN ACARA KULIAH TAMU

Chord Fisip Meraung - Mbokku