Pengelolaan Hutan Produksi yang Lestari (PHPL)
TENTANG
PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI YANG
LESTARI (PHPL)
Oleh :
Zainal Abidin (201410320311045)
Hafizh Fadhila Muhammad (201510320312023)
JURUSAN KEHUTANAN
FAKULTAS PERTANIAN-PETERNAKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2016
LATAR BELAKANG
Ibarat
dua sisi pada sekeping mata uang, pengelolaan hutan memberikan dua dimensi yang
berbeda. Dimensi pertama memposisikan
peran dunia usaha kehutanan melalui pengusahaan hutan dan industrialisasi
kehutanan menjadi salah satu tulang punggung pertumbuhan ekonomi nasional
selama persoalan besar terkait dengan degradasi kualitas lingkungan. Statistik beberapa tahun terakhir sebelum
terjadinya krisis ekonomi menunjukkan bahwa tak kurang dari US$ 7-8 miliar
devisa per tahun diperoleh dari sektor kehutanan dengan nilai investasi
mencapai US$ 27,7 miliar dengan menyerap 4 juta tenaga kerja baik langsung
maupun tidak langsung. Peran social ekonomi sector kehutanan semakin signifikan
karena kemampuannya dalam
mewujudkan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi di berbagai wilayah pedalaman. Ia bahkan menjelma menjadi salah satu sektor
yang mampu mendukung terwujudnya integrasi sosial kultural masyarakat. Namun
pada sisi lainnya ternyata pengelolaan hutan utamanya hutan tropis juga
menyisakan suatu persoalan besar, yaitu semakin menurunnya kuantitas dan
kualitas hutan.
Permasalahan-permasalahan
yang terjadi dalam pelaksanaan pengelolaan hutan di Indonesia sebagaimana
dimaksud di atas adalah :
1. Tingkat
pembalakan melampaui tingkat pembalakan yang lestari
Untuk memastikan agar hutan alam mampu memproduksi
kayu dalam jumlah memadai dan secara lestari, tingkat pemanenan tidak boleh
melampaui kemampuan hutan untuk
melakukan regenerasi. Kajian
terhadap kegiatan pembalakan yang berlangsung di Indonesia menunjukkan bahwa
produksi kayu bulat selama ini telah melebihi tingkat pembalakan yang
lestari. Walaupun data resmi dari
pemerintah menunjukkan bahwa produksi kayu bulat tahunan baru melebihi tingkat
pembalakan lestari pada tahun 1994, namun perkiraan dari FAO mengindikasikan
bahwa produksi kayu bulat telah jauh melampaui tingkat pembalakan lestari sejak
tahun 1989 (Resosudarno.I.A.P, 2003)
Menurunnya kemampuan hutan Indonesia untuk memasok
kayu merupakan indikasi bahwa jumlah kayu yang dipanen lebih besar dari pada
data resmi. Beberapa faktor yang
mendorong hal tersebut adalah :
a.
Maraknya kasus penebangan liar dimana datanya tidak dilaporkan sehingga
estimasi data statistik resmi mengenai jumlah kayu yang ditebang lebih rendah
dari jumlah yang sebenarnya.
b.
Permintaan kayu bulat yang lebih besar dibandingkan ambang produksi lestari
c.
Ukuran dan jumlah kayu bulat yang ditebang (secara legal) tidak sesuai dengan
aturan yang ditetapkan, sehingga laporan tentang jumlah kayu bulat yang
ditebang jauh lebih rendah dibandingkan dengan yang sebenarnya terjadi.
2.
Metode pembalakan yang tidak efisien
Selain melakukan panen yang berlebihan, data juga
menunjukkan bahwa para pemegang HPH telah menerapkan praktik pembalakan yang
tidak efisien. Pemanfaatan sumber daya
kayu yang tidak efisien tercermin dari proporsi kayu bulat yang dapat diperoleh (log
recovered), jumlah limbah tebangan (wood waste), serta kerusakan yang
ditimbulkan oleh praktik pembalakan yang dilakukan pada tahun 1990-an jika
dibandingkan dengan dengan praktik pembalakan lestari.
3.
Metode pembalakan yang menimbulkan
kerusakan ekologis berlebihan
Pemanenan yang dilakukan dengan sistem TPTI telah
menyebabkan kerusakan antara 28-48% dari tegakan sisa yang tinggal
(Resosudarno, 2003). Kondisi tersebut antara lain tercermin dari banyaknya areal bekas tebangan
(logged over area) yang terpencar di dalam dan disekitar hutan alam. Meskipun
beberapa diantara kawasan hutan bekas tebangan tersebut masih tetap mampu
menghasilkan konfigurasi hutan produktif,
namun tidak sedikit bahkan sebagian besar kawasan hutan bekas tebangan tersebut
merupakan kawasan hutan non-produktif, lahan kritis bahkan padang alang-alang.
Tidak lain semua itu disebabkan karena teknik pembalakan konvensional yang
mengandalkan tenaga mesin traktor dan gergaji mesin (chain saw) dilakukan tanpa
diawali perencanaan yang matang dengan mempertimbangkan kondisi riil tegakan
hutan.Perbaikan pada metode pembalakan bisa mengurangi tingkat kerusakan hingga
25-30%.
Pembangunan infrastruktur seperti jalan angkutan kayu
dan jalur-jalur penyaradan kayu juga menyebabkan penambahan luasan area bukaan
kawasan hutan. Hal tersebut telah mengakibatkan kerusakan lingkungan dalam
skala masif, khususnya pada area tegakan yang ditinggalkan. Pemadatan struktur
tanah yang terkait dengan kegiatan pembalakan juga telah menurunkan laju
penyerapan air sampai 21 kali lebih rendah sehingga telah meng akibatkan erosi
dan banjir.
4. Metode
pembalakan yang menyebabkan konversi hutan tak terencana bagi penggunaan hutan
Kegiatan pemanenan ulang pada kawasan bekas tebangan
sebelum kawasan tersebut siap untuk dipanen kembali, akan dapat menyebabkan
proses deforestasi tak terencana dan menyebabkan kerusakan stok tegakan dan
secara permanen menghambat pertumbuhan. Praktik melakukan kontrak dari HPH
kepada sub-kontraktor yang biasa dilakukan, makin memperparah masalah di atas,
karena para sub-kontraktor tidak bisa dimintai pertanggung jawaban atas
kegiatan yang dilakukannya untuk mencari kayu sebanyak-banyaknya dalam waktu
segera. Praktik penebangan yang
berorientasi jangka pendek tersebut menyebabkan kerusakan hutan dan deforestasi
yang tak direncanakan.
5.
Praktik penanaman kembali dan regenerasi
hutan yang buruk
Berdasarkan data yang ada, kawasan bekas tebangan
hutan yang direboisasi jumlahnya sangat minim tidak lebih dari 4% dari total
kawasan hutan. Laju penanaman kembali saat ini tidak mampu mengimbangi laju
hilangnya kawasan hutan. Jika laju deforestasi sebesar kurang lebih 1 juta
ha/tahun, paling tidak dibutuhkan kegiatan penanaman kembali dengan laju yang
setara, untuk mengkompensasi deforestasi tahunan yang terjadi akibat berbagai
sebab.
6. Berbagai
kebijakan dan pengaturan kelembagaan yang menyebabkan timbulnya praktikpraktik
yang mengabaikan kelestarian, seperti:
a. Belum
terbentuknya unit pengelolaan di tingkat tapak (KPH), sehingga terhadap
kegiatan pengelolaan hutan di lapangan tidak jelas siapa yang harus bertanggung
jawab
b. Lemahnya
pengawasan yang disebabkan karena jumlah SDM kehutanan terbatas di luar
Jawa. Sebagai perbandingan, area yang
harus diawasi oleh setiap ahli kehutanan di luar Jawa adalah 26.700 ha/orang,
sedangkan di Pulau Jawa adalah 6.900 ha/orang.
c. Ketergantungan
yang tinggi terhadap sumber daya hutan sebagai sumber pendapatan daerah dan
nasional
d. Kebijakan
masa lalu yang melarang ekspor kayu bulat dan integrasi vertikal dalam industri
kehutanan menyebabkan peningkatan
kapasitas industri kehutanan jauh melebihi kapasitas penyediaan bahan baku.
e. Rendahnya
tingkat pungutan dan royalti, perolehan rente pemerintah yang rendah mendorong
pembalakan kayu yang tidak efisien (pemegang izin memberikan nilai rendah pada
hasil hutan kayu)
f. Masa
daur HPH yang 20 tahun yang jauh lebih pendek dibandingkan daur pemanenan yang
35 tahun menyebabkan pengelolaan tidak memperhatikan aspek kelestarian, karena
pemegang HPH tidak mempunyai jaminan penguasaan kawasan untuk periode
berikutnya.
g. Masalah
kepastian pemilikan lahan terutama di era reformasi yang tumpang tindih, tidak
terdapatnya kepastian lahan
menyebabkan terjadinya konflik tenurial
yang mengakibatkan terganggunya upaya menjaga kelestarian hutan.
h. Program
pengembangan masyarakat sekitar hutan (PMDH).
Kebijakan
PMDH dinilai mempunyai banyak kelemahan dan kegagalan. Kebutuhan ma sya rakat
tidak benar-benar digali melalui peran serta dalam perencanaan. Hak masyarakat
yang berkaitan dengan akses terhadap lahan tidak diakui. Masyarakat lokal tidak mempunyai akses untuk
memanen kayu secara komersial. Disisi lain HPH merasa tidak mendapat keuntungan
apapun terhadap program tersebut. Kegagalan melibatkan masyarakat lokal sekitar
hutan dalam pengelolaan hutan dan mengintegrasikan hak serta kebutuhan mereka
bisa mendorong terjadinya penebangan liar yang pada akhirnya akan menyebabkan
pengelolaan hutan tidak lestari.
Karena
adanya permasalahan-permasalahan sebagaimana dijelaskan di atas, timbul kondisi
dilematis dalam sistem pengelolaan sektor kehutanan Indonesia. Disatu sisi,
sektor kehutanan secara ekonomi menjelma menjadi salah satu tulang punggung
pembangunan nasional, namun di sisi lainnya, menjadi ancaman bagi kelestarian
lingkungan sumber daya hutan yang akan sulit terpulihkan.
Dilatarbelakangi
oleh keprihatinan terhadap meningkatnya laju penurunan kualitas hutan produksi
di Indonesia maka pemerintah menetapkan kebijakan untuk pengelolaan hutan produksi
lestari (PHPL) yang diatur melalui Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007
tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan
Hutan yang selanjutnya telah dirubah dengan PP Nomor 3 Tahun 2008 dan peraturan-peraturan turunannya.
BAB I
KONSEPSI PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI
LESTARI (PHPL)
Dilatarbelakangi
oleh keprihatinan yang dimulai dari terjadinya kerusakan hutan akibat
eksploitasi kayu hutan secara tak terkendali, dan upaya pengelolaan hutan
secara lestari oleh masyarakat dunia, maka pada awal tahun 1980-an, keberadaan
hutan tropis mulai diagendakan dalam dialog global. Suatu proses negosiasi yang panjang telah
berlangsung dibawah naungan UNCTAD (United Nations Conference on Trade and
Development). Hasilnya adalah suatu kesepakatan dalam bentuk “
International Tropical Timber Agreement”
(ITTA) atau Perjanjian Kayu Tropis Internasional yang merupakan perjanjian
multilateral tentang peredaran komoditas kayu tropis. ITTA ditandatangani pada
18 November 1983 di Jenewa dan mulai diberlakukan pada 1 April 1985. ITTA melandasi berdirinya organisasi
internasional kayu tropis atau lebih dikenal dengan International Tropical
Timber Organization/ ITTO pada tahun 1986.
Saat ini ITTO beranggotakan 59 negara, yang terdiri dari 34 negara
produsen dan 25 negara konsumen.
Indonesia termasuk tiga negara dengan vote terbesar (146) bersama Brasil
(159) dan Malaysia (103).
Adapun
tujuan ITTO sebagaimana tertuang dalam ITTA 1994 antara lain adalah memberikan
kontribusi dalam proses pembangunan berkelanjutan. Dalam upaya mendukung pembangu nan
berkelanjutan di bidang pengelolaan hutan produksi lestari (PHPL), ITTO telah mengadakan sidang di Bali pada
tahun 1990, yang menghasilkan kesepakatan menetapkan target pengelolaan hutan
lestari tercapai pada tahun 2000.
Keputusan ITTO tersebut merupakan komitmen seluruh negara anggota
terhadap pelaksanaan PHL.
Pada prinsipnya konsepsi
Pengelolaan Hutan Lestari memiliki tiga tipe yaitu:
1.
Kelestarian hasil hutan
Tipe kelestarian ini
hanya menitikberatkan pada hasil kayu tahunan atau periodik yang sama. Untuk
mewujudkan tipe kelestarian ini muncul berbagai konsep sistem silvikultur,
penentuan rotasi, teknik penebangan yang tepat dan sebagainya.
2.
Kelestarian potensi hasil hutan
Kelestarian potensi hasil
hutan berorientasi pada hutan sebagai pabrik kayu. Pengelola hutan memperoleh kesempatan untuk
memaksimumkan produktivitas kawasan hutan dengan cara tidak hanya menghasilkan
produk konvensional sehingga diperoleh keuntungan uang yang sebesar-besarnya.
3.
Kelestarian sumber daya hutan
Kelestarian sumber daya
hutan menitikberatkan kepada hutan sebagai ekosistem yang menghasilkan kayu
maupun non-kayu, pelindung tata air dan kesuburan tanah, penjaga kelestarian
lingkungan, serta berfungsi sebagai gudang untuk kelangsungan hidup berbagai
macam sumber genetik, baik flora maupun fauna. Tipe kelestarian sumber daya
hutan, adalah tipe pengelolaan hutan lestari yang menjadi target pembangunan
sektor kehutanan yang berkelanjutan.
Expert Panel ITTO menyimpulkan
bahwa definisi operasional mengenai Pengelolaan Hutan Lestari perlu
mencakup unsur-unsur sebagai berikut :
1)
Hasil yang berkesinambungan berupa kayu,
hasil hutan lainnya dan jasa
2)
Mempertahankan tingkat biodiversity yang
tinggi dalam konteks perencanaan tata guna lahan yang integratif yang mencakup
jaringan kerja kawasan lindung dan kawasan konservasi
3)
Menjaga stabilitas fungsi dan ekosistem
hutan dengan penekanan pada pemeliharaan produktivitas tempat tumbuh (site
productivity), menjaga sumber benih (plasma nutfah) dan unsur biodiversity yang
diperlukan untuk regenerasi dan pemeliharaan hutan.
4)
Meningkatkan dampak positif pada areal
disekitar hutan dan sekaligus mengambil langkahlangkah untuk meminimalkan
dampak yang merugikan
5)
Proses untuk meningkatkan partisipasi
masyarakat dan menyelesaikan perbedaan yang timbul
6)
Memberi peluang yang cukup luas untuk
kemungkinan perubahan tata guna lahan pada masa yang akan datang.
Berdasarkan
pertimbangan yang cukup luas tersebut, ITTO mendifinisikan Pengelolaan Hutan
Lestari sebagai suatu proses pengelolaan hutan untuk mencapai satu atau lebih
tujuan pengelolaan yang secara jelas ditetapkan, yang menyangkut produksi hasil
hutan yang diinginkan dan jasa secara berkesinambungan, tanpa dampak yang tidak
diinginkan baik terhadap lingkungan maupun sosial, atau pengurangan nilai yang
terkandung didalamnya dan potensi potensinya pada masa yang akan datang.
Ilustrasi
mengenai pengelolaan hutan lestari sebagaimana didefinisikan tersebut diatas dapat
digambarkan sebagai berikut :
Hutan
mempunyai fungsi produksi mempunyai nilai ekonomi, seperti kayu, rotan, gaharu
dan sebagainya. Hutan mempunyai fungsi ekologi karena hutan sangat penting untuk kelangsungan
mahluk hidup manusia, hewan dan tumbuhan. Fungsi ekologi tersebut diantaranya
adalah menyerap karbondioksida sekaligus menghasilkan oksigen bagi kehidupan,
sumber air, pencegah erosi dan banjir, habitat hewan, sumber keanekaragaman
hayati, dsb. Hutan juga mempunyai fungsi sosial karena hutan memberikan manfaat
bagi masyarakat diantaranya sumber pemenuhan kebutuhan dasar bagi masyarakat
sekitar hutan dan obat-obatan, sumber mata pencaharian, penelitian, dan
sebagainya. Kegiatan pemanfaatan hasil hutan kayu yang dilakukan oleh pemegang
IUPHHK akan menyebabkan dampak terhadap ketiga fungsi tersebut baik itu dampak
positif maupun dampak negatif. Dengan demikian, Pengelolaan Hutan Produksi
Lestari seharusnya mencakup usaha-usaha untuk meningkatkan dampak positif dan
meminimalkan dampak negatif dari pengelolan hutan sehingga fungsi hutan
lestari.
Lima Aspek Pokok dalam PHPL
Untuk
itu paling tidak harus ada lima aspek pokok yang harus dipenuhi dalam rangka
mewujudkan pengelolaan hutan lestari yaitu sebagai berikut :
1. Aspek
kepastian dan keamanan sumber daya hutan
Kemantapan dan kepastian hukum yang diikuti dengan
pengendalian pelaksanaan secara operasional serta perencanaan pengelolaan yang
disahkan, penetapan dan penataan kawas an dengan pemancangan tata batas yang
jelas dan dikukuhkan secara yuridis.
2. Aspek
kesinambungan produksi
Perlunya ditetapkan sistem silvikultur (sistem panen
dan pembudidayaan) yang tepat sesuai dengan kondisi hutan yang bersangkutan. Kelangsungan
produksi kayu dari suatu HPH untuk siklus I, sangat ditentukan oleh kemampuan
perusahaan dalam membuat penataan areal yang baik yang dituangkan dalam RKU,
melalui inventarisasi dan penafsiran foto udara sangat diperlukan agar
realisasi jatah produksi tahunan (JPT) tidak terlalu berbeda dengan perkiraan
produksi dalam RKU. Untuk penebangan
pada siklus kedua dan selanjutnya, kesinambungan produksi sangat ditentukan
oleh :
a.
Cara penebangan dan penyaradan
b.
PWH
c.
Inventarisasi tegakan tinggal
d.
Penanaman dan pemeliharaan tegakan tinggal
3. Aspek konservasi flora fauna dan keanekaragaman hayati serta berbagai lini fungsi hutan bagi lingkungan
ITTO telah mengeluarkan guidelines dimana didalamnya
mencantumkan satu persyaratan untuk pelaksanaan kegiatan konservasi biological
diversity dengan penyediaan Total Protected Area (TPA) antara lain berupa Hutan
Lindung dan Hutan Konservasi.
Program konservasi tersebut antara lain ditujukan
untuk penyediaan plasma nutfah, zona penyangga antara hutan produksi dengan
hutan lindung atau hutan konservasi, inventarisasi flora fauna yang dilindungi, serta usaha-usaha pencegahan
perburuan binatang yang dilindungi, pencegahan penebangan pohon yang
dilindungi, pencegahan kebakaran serta kerusakan vegetasi, kerusakan tanah
serta perlindungan sungai, mata air, pantai, atau tepi danau dan areal perlindungan
lain. Untuk itu adanya dokumen Rencana
Pengelolaan Lingkungan (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL) serta
adanya organisasi dan anggaran pelaksanaan sesuai AMDAL merupakan persyaratan.
4. Aspek
manfaat ekonomi bagi pembangunan bangsa dan partisipasi masyarakat.
Agar hutan produksi dapat dikelola secara lestari, ada
beberapa aspek yang menyangkut sumber daya manusia yang perlu diperhatikan
antara lain
·
Profesionalisme tenaga kerja
·
Kesejahteraan karyawan
·
Kesempatan kerja dan kesempatan berusaha
dari anggota masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan
·
Hak tradisional masyarakat dalam
pemanfaatan hasil hutan non-kayu serta kegiatan spiritual
·
Pendidikan dan kesehatan anggota
masyarakat di dalam dan di sekitar hutan
·
Bantuan-bantuan baik berupa bimbingan,
penyuluhan maupun berupa material agar kehidupan dan kemandirian anggota
masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan dapat ditingkatkan.
5. Aspek
Kelembagaan
Berbagai ketentuan dari Kementerian Kehutanan yang
didukung oleh organisasi perusahaan HPH (APHI) serta tersedianya cukup banyak
tenaga profesional telah secara nyata memperbaiki dan melengkapi sistem
kelembagaan dari Perusahaan HPH. Usaha
pemenuhan tenaga teknis masih perlu dipacu agar aspek kelembagaan dapat
mendukung pelaksanaan pengelolaan hutan secara lestari.Komponen PHPL dan
Keterkaitannya Satu Sama Lain dalam PHPLMemperhatikan prasyarat dan ketentuan
yang harus dipenuhi dalam rangka mewujudkan sistem pengelolaan hutan lestari
tersebut diatas, maka tingkat keberhasilan pengelolaan hutan lestari tersebut
akan sangat tergantung pada beberapa faktor antara lain adalah :
1) Kebijakan
dan komitmen nasional serta kebijakan ekonomi nasional
2) Dukungan
masyarakat terhadap kebijakan PHL
3) Tersedia
struktur pemerintahan yang dapat menjamin bagi pelaksanaan kebijakan dan
komitmen PHL
4) Tersedianya
kapasitas yang cukup dalam bentuk, jumlah sumber daya manusia yang berkualitas
dan mempunyai komitmen yang tinggi
5) Investasi
yang cukup dalam perencanaan dan pengelolaan sumber daya hutan.
BAB
II
KERANGKA
KERJA PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI LESTARI (PHPL)
Agar pengelola
hutan pemegang IUPHHK-HA tidak kehilangan orientasi dan lebih fokus pada proses
pengelolaan hutan yang sasaran akhirnya adalah memenuhi standar penilaian
PHPL dan verifikasi legalitas kayu telah
disusun Kerangka Kerja
Pengelolaan Hutan Produksi Lestari.
Tahapan dan Kegiatan Utama
Pengelolaan Hutan Produksi Lestari.
Tahapan dan
kegiatan utama pengelolaan hutan produksi lestari sebagaimana dimaksud pada
bagan alir tersebut di atas dapat dijelaskan berikut ini :
a. Tahap
Prakondisi
Tahap
ini merupakan tahap yang paling penting dan menentukan pelaksanaan PHPL. Inti
dari tahap ini adalah komitmen pengelola hutan untuk melaksanakan PHPL.
Komitmen harus bisa dibuktikan secara nyata paling tidak dengan melakukan
beberapa hal berikut yang sebagian besar merupakan tugas dari manajemen puncak
dari UNIT PENGELOLA HUTAN:
1) Meningkatkan
kesadaran untuk melaksanakan PHPL
Kesadaran untuk melakukan Pengelolaan Hutan Produksi
Lestari perlu dimiliki oleh seluruh jajaran internal yang terlibat dalam
pengelolaan hutan, mulai dari pemilik perusahaan, manajemen puncak, dan seluruh
staf lapangan termasuk kontraktor.Kesadaran tersebut harus didasari oleh
pemahaman yang cukup tentang Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dari berbagai
aspek, baik dari aspek kepatuhan terhadap peraturan perundangan, aspek
produksi, aspek lingkungan, aspek sosial, dan juga dari aspek strategi bisnis.
Pengelolaan hutan merupakan usaha jangka panjang. Untuk menjamin kelestarian
hasil sekaligus kelestarian usaha mutlak diperlukan Pengelolaan Hutan Produksi
Lestari.
2) Membangun
komitmen untuk melaksanakan PHPL
Komitmen untuk PHPL harus bisa ditunjukan oleh unit
pengelola hutan, diantaranya :
·
Visi dan misi perusahaan sebagai bentuk
komitmen tertulis harus mencerminkan kesadaran untuk melakukan Pengelolaan
Hutan Produksi Lestari. Visi, misi dan komitmen untuk PHPL perlu diketahui oleh
seluruh jajaran internal yang terlibat dalam pengelolaan hutan termasuk
kontraktor serta masyarakat secara luas. Penyusunan visi, misi, penetapan
target, dan sebagainya merupakan bagian dari perencanaan bisnis dan strat egi.
·
Pemenuhan aspek legalitas
·
Pemenuhan tenaga teknis yang memadai, dana
untuk pelaksanaan kegiatan dan sarana dan prasarana untuk mendukung pelaksanaan
kegiatan. Rencana aksi menuju PHPL tidak akan berjalan dengan baik jika ketiga
faktor tersebut tidak terpenuhi.
3) Penilaian
kesenjangan antara Praktik Pengelolaan yang Sedang Berjalan dengan standar
Penilaian PHPL (Gap Assessment)
Penilaian/verifikasi bisa dilakukan oleh internal unit
pengelola hutan atau oleh pihak lain yang berkompeten. Penilaian ini merupakan
langkah awal dalam rangka memperbaiki kinerja menuju Pengelolaan Hutan Produksi
Lestari. Hasil penilaian/verifikasi harus disosialisasikan kepada seluruh jajaran
unit pengelola hutan termasuk kontraktor.
Penentuan atau pemilihan standar penilaian/verifikasi
dalam melakukan gap assessment tergantung kepada tujuannya, apakah untuk tujuan
pemenuhan standar mandatory (LK dan PHPL) atau untuk tujuan pemenuhan standar
FSC. Penilaian PHPL dengan standar PHPL atau FSC dilakukan pada level kriteria,
sedangkan untuk verifikasi legalitas kayu (LK)
penilaian dilakukan pada level indikator.
4) Membuat
Rencana Aksi menuju PHPL
Tindak lanjut dari hasil gap assessment adalah membuat
rencana aksi berdasarkan hasil penilaian pada setiap kriteria/indikator.
Komponen utama dari rencana aksi terdiri dari kegiatan, target, penanggung
jawab dan tata waktu pelaksanaan. Dalam penyusunan rencana aksi, untuk
pemenuhan setiap kriteria dan indikator seringkali dibutuhkan beberapa kegiatan
lintas departemen atau lintas tahapan (perencanaan, implementasi, monitoring
atau evaluasi). Atau sebaliknya, satu kegiatan bisa berhubungan dengan beberapa
kriteria/indikator.
b. Pengumpulan
Data Dasar
Pengumpulan
data dasar dimaksudkan untuk memperoleh informasi menyeluruh mengenai sumber daya hutan (batas areal kerja,
potensi, riap tegakan, keanekaragaman hayati, dan kawasan yang perlu
dilindungi); dampak potensial dari pengelolaan hutan terhadap lingkungan; dan
kondisi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat di sekitar hutan.
Seluruh
informasi tersebut harus diintegrasikan dan dipertimbangkan dalam proses
penataan areal kerja (forest zoning) dan dalam proses penyusunan rencana
pengelolaan jangka panjang yang meliputi rencana kelola produksi, lingkungan
dan sosial. Berikut adalah penjelasan mengenai kegiatan utama yang terkait
dengan pengumpulan data dasar:
1. Penataan
batas areal kerja dan pengukuhan kawasan hutan
Salah satu kewajiban dari Unit Pengelola Hutan pada
tahap awal pengelolaan hutan adalah pelaksanaan tata batas areal kerja (TBT).
Penataan batas areal kerja merupakan upaya untuk mendapatkan kepastian kawasan
hutan yang dikelola untuk jangka panjang.
2. Analisis
mengenai dampak lingkungan (AMDAL)
AMDAL dilakukan sebelum kegiatan operasional dimulai
dan merupakan salah satu persyaratan memperoleh ijin usaha pemanfaatan hasil
hutan kayu pada hutan alam (IUPHHKHA). Dokumen AMDAL terdiri dari dokumen
utama, yaitu dokumen analisis dampak lingkungan (AMDAL), dokumen rencana kelola
lingkungan (RKL) dan dokumen rencana pemantauan lingkungan (RPL). Informasi
penting yang diperoleh dari dokumen AMDAL adalah dampak potensial pengelolaan hutan
terhadap lingkungan (fisik-kimia, biologi,
dan sosial) dan besarannya yang selanjutnya menjadi dasar untuk penyusunan
rencana kelola lingkungan dan rencana pemantauan lingkungan.
3. Survei
social
Survei sosial dilakukan untuk mengetahui informasi
mengenai kondisi sosial ekonomi dan budaya masyarakat di dalam dan di sekitar
hutan yang dikelola. Informasi meliputi kelembagaan desa, sarana dan prasarana
desa, jumlah penduduk, mata pencaharian, pendidikan, kesehatan, aturan adat,
kearifan tradisional, penggunaan lahan, pemanfaatan sumber daya hutan, dan
sebagainya.
Strategi
Umum Pengelolaan Hutan
a. Perbaikan alokasi
penggunaan sumberdaya hutan secara nasional dengan memperhatikan kepentingan
sector lain yang terlibat dan jaminan tersedianya tempat usaha bagi masyarakat
di sekitar hutan, sehingga kesenjangan antara supply dan demand kayu bulat dapat diperkecil
b. Mempercepat
penyelesaian pengukuhan hutan yang mencakup kegiatan-kegiatan: pemancangan
batas sementara, musyawarah dengan pihak-pihak terkait, pemancangan batas tetap
dan pembuatan berita acara serta pembuatan berita acara serta pembuatan surat
keputusannya (oleh Menteri Kehutanan),
c. Perbaikan dan
penyederhanaan peraturan, terutama pada tingkat petunjuk
pelaksanaan dan petunjuk teknis yang diperlukan dalam kegiatan
pengelolaan hutan produksi
d. Mewujudkan
terbentuknya kesatuan-kesatuan pengusahaan hutan dan produksi yang berlandaskan
kepada konsep yang bersifat komprehensif dan holistik dalam memperhatikan
aspek-aspek yang terkait dalam kegiatan pengelolaan hutan produksi
e. Peningkatan
upaya pengawasan dan penegakan peraturan dengan menerapkan prinsip reward dan punishment
f. Penyempurnaan
konsep penyelenggaraan konservasi di hutan alam produksi yang bersifat rasional
dan operasional dengan tetap mempertahankan kemungkinan terjaganya kualitas
lingkungan, khususnya keterpeliharaan keanekaragaman hayati hutan alam tropis
g. Peningkatan
kualitas penyelenggaraan penelitian dan pengembangan kehutanan melalui
perbaikan konsep, tujuan dan program yang bersifat komprehensif dan
berkelanjutan.
h. Peningkatan
kualitas sumberdaya manusia dari semua pihak yang terlibat dalam kegiatan
pengelolaan hutan produksi secara proporsional yaitu pemerintah, pengusaha, LSM
dan lembaga-lembaga terkait lainnya serta masyarakat.
i. Peningkatan
kualitas dan ketersediaan data dan informasi yang diperlukan dalam menunjang
kegiatan pengelolaan hutan produksi baik untuk penyusunan rencana maupun
perumusan kebijakan lainnya
j. Peningkatan
intensitas manajemen dalam kegiatan pengelolaan hutan alam produksi dengan
menggunakan alternatif teknologi yang tepat dan memadai
Secara menyeluruh, tata
kepemerintahan kehutanan yang baik dapat dikaji dari penyelenggaraan urusan
kehutanan yang idealnya menerapkan 14 prinsip berikut (Bappenas, 2007):
1. Visi ke depan
2. Keterbukaan dan transparansi
3. Partisipasi publik
4. Tanggung-gugat (accountability)
5. Supremasi hukum
6. Demokrasi
7. Profesionalisme dan kompetensi
8. Daya tanggap
9. Efisiensi dan efektivitas
10. Desentralisasi
11. Kemitraan dunia usaha dengan
masyarakat
12. Komitmen untuk mengurangi
kesenjangan
13. Komitmen terhadap kelestarian
lingkungan hidup
14. Komitmen terhadap pasar yang
adil.
Pendekatan kelembagaan merupakan
salah satu aspek penting dalam pengelolaan sumber daya hutan. Beberapa cara
penguatan kelembagaan sektor kehutanan yakni:
1.
Meningkatkan
peran dan sinergitas diantara para pihak (stakeholder), baik sinergitas antar
sector maupun antar tingkat pemerintahan;
2.
Memperkecil
kesenjangan antara kebijakan dan pelaksanaan;
3.
Meningkatkan
posisi tawar masyarakat dalam kemitraan pengelolaan sumber daya hutan; dan
4.
Melengkapi
dan memperkuat data dan informasi tentang masyarakat di dalam dan sekitar
hutan.
Pendekatan pemberdayaan masyarakat
mengubah paradigma lama pembangunan kehutanan dari state based forest management menjadi community based forest management dimana
masyarakat menjadi pelaku utama. Hutan merupakan sebuah ekosistem yang bersifat
integral. Karena itu, pengelolaan hutan konvensional yang hanya berorientasi
pada kayu (timber extraction) harus diubah menuju pengelolaan hutan yang
berorientasi pada sumber daya alam yang bersifat multi-produk, baik hasil hutan
kayu maupun non kayu, jasa lingkungan serta manfaat hutan lain (forest
resources based management)
Prinsip dasar pengelolaan
hutan berbasis masyarakat adalah paradigma pembangunan kehutanan yang bertumpu
pada pemberdayaan ekonomi rakyat. Secara teori prinsip dasar memiliki karakter
bahwa masyarakatlah yang menjadi pelaku utama dalam pengelolaan sumberdaya
hutan, dimana mereka memiliki jaminan akses dan kontrol terhadap sumberdaya
alam. Sebagai pelaku utama maka masyarakat sekaligus menjadi pemeran utama
dalam proses pengambilan keputusan dalam pengelolaan hutan. Hal ini dapat
terwujud bila terdapat pengakuan terhadap hak-hak pengelolaan, pengendalian dan
pemanfaatan sumberdaya hutan. Operasionalisasi di lapangan diserahkan kepada
kelembagaan lokal sesuai dengan system sosial, ekonomi dan budaya
masyarakatnya. Karena itu pendekatannya bersifat lokal spesifik namun tetap
memadukan antara kearifan lokal dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
Ada tujuh isu penting yang berkaitan
dengan sumber daya hutan dalam hubungannya dengan program pemberdayaan
masyarakat di sektor kehutanan, yaitu:
1.
Semakin
luasnya hutan yang rusak,
2.
Besarnya
tekanan terhadap sumber daya hutan dari sektor lain,
3.
Sumber
daya hutan kurang memberikan manfaat sesuai dengan harapan masyarakat,
4.
Tingginya
ketergantungan masyarakat terhadap sumber daya hutan,
5.
Kurangnya
keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan pelestarian sumber daya hutan,
6.
Kurangnya
kepedulian dan kemampuan multipihak dalam pelestarian sumber daya hutan,
7.
Rendahnya
akseptabilitas terhadap eksistensi tata ruang kawasan hutan.
Social forestry merupakan salah satu
upaya untuk mengoptimalkan kegiatan pemberdayaan masyarakat di dalam dan
sekitar kawasan hutan. Peraturan Menteri Kehutanan nomor P.01/Menhut-II/2004
tentang pemberdayaan masyarakat menyatakan bahwa maksud pemberdayaan masyarakat
setempat di dalam dan atau sekitar hutan adalah untuk meningkatkan kemampuan
dan kemandirian masyarakat dalam pemanfaatan hutan dalam rangka social
forestry. Sedangkan tujuannya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat setempat dan terwujudnya pengelolaan hutan yang lestari. Sasarannya
adalah masyarakat setempat melalui upaya penyadaran, peningkatan kapasitas dan
akses kepada sumberdaya hutan.
Beberapa factor yang menjadi kunci
sukses dalam manajemen pengelolaan sumberdaya hutan dalam praktek kearifan
lokal ialah:
1) Proses partisipatif
memerlukan waktu dan tenaga yang lebih tetapi di sisi lain dapat mengakomodir
kepentingan berbagai pihak terutama kepentingan masyarakat tradisional yang
termarjinalkan.
2)Kelembagaan adat berfungsi efektif
dalam mengatur struktur organisasi, sistem pengambilan keputusan, sanksi dan
implementasinya dalam pengelolaan sumberdaya hutan, karena di dalamnya
mencakup:
1.
Struktur
organisasi kelembagaan adat memiliki anggota kelompok masyarakat.
2.
Sistem
pengambilan keputusan dilakukan melalui musyawarah
3.
Sanksi
terhadap pelanggaran hukum adat
4.
Penerapan
kelembangan adat dalam pengelolaan hutan
3) Masyarakat
adat umumnya mempunyai kemampuan mengelola hutan, sesuai dengan fungsinya dan
mempunyai batas-batas yang jelas di lapangan baik berupa batas alam maupun
berupa tanaman atau lainnya. Pengelolaan fungsi hutan umumnya sesuai dengan
kondisi alamnya yaitu berfungsi sebagai hutan yang dilindungi atau disebut
dengan hutan tutupan, hutan yang dapat dimanfaatkan, hutan garapan atau ladang.
4) Pengetahuan
masyarakat dalam memilih tanaman mengenai jenis tanaman, kesuburan tanah,
kondisi iklim setempat, tanaman dengan resiko yang paling rendah dan mudah
dipasarkan serta memenuhi permintaan pasar.
Konsep-konsep PHL
1) sustainable
use of ecosystem resources
2) holistic
3) ecosystem
based forest management
4) landscape
perspective
5) multiple
objectives
6) integrated
7) includes
participation of all stakeholders
8) based
on monitoring results
9) adaptive
10) based on sound
science and good judgement
11) takes cognitive,
emotional and moral reactions into account in decision making proces
12) based on the
precautionary principle
13) integrated
Comments
Post a Comment